KH Abdurrahman Wahid
Bagi saya, Mbah Mutamakkin adalah seorang guru spiritual yang sangat luar biasa. Mbah
Mutamakkin membawa pendekatan kultural baru dalam kehidupan umat, ketika itu. Caranya,
melawan kekuasaan tidak dengan frontal, tapi melalui pendekatan kultural. Beliau mengajarkan, segala sesuatu tidak bisa dipandang hanya dengan kaca mata lahir, tetapi juga harus dilihat secara batin. Mbah Mutamakkin mengembangkan kultur atau model oposisi terhadap pe merintah, dengan pendekatan tidak anti dan tidak pro melainkan berbeda.
Pendekatan Mbah Mutamakkin dalam mengajarkan Islam, sangat menarik dicermati. Sebab, pendekatan yang dilakukan disesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat. Ini memberikan arti bahwa ajaran Islam itu sangat universal. Dalam lakon Dewan Ruci, sangat jelas, bagaimana seharusnya seseorang mencari jati diri. Ia harus berusaha melawan hawa nafsunya karena itu akan membawanya pada hal hal yang menjerumuskannya dalam kenistaan.
Dari Serat Cebolek, tampak bagaimana pemikiran Syekh Ahmad Mutamakkin menampilkan sebuah gejala baru, keagamaan yang di era sekarang ini saya sebut dengan nama Trend Neo-Sufisme, yang itu berkembang melalui jaringan para ulama dan juga jaringan para guru murid, baik yang berada di dalam hierarki kekuasaan ataupun tidak.
Cara Syeikh Ahmad Mutamakkin, sama dengan yang dilakukan Kiai Ahmad Rifa'i dari Kalisalak Pekalongan, yang juga merefleksikan sebuah dinamika Intelektual. Syekh Ahmad Mutamakkin merefleksikan sikap Perlawanan Kultural Agama Rakyat. Maka, karya tentang Kiai Ahmad Rifa'i, yang ditulis Abdul Djamil mewakili perlawanan Islam birokratik. Syekh Ahmad Mutamakkin telah menunjukkan wacana intelektualitasnya. Keberadaan Syekh Mutamakkin, dan ulama nusantara lainnya, menunjukkan bahwa ulama Indonesia itu memiliki keilmuan yang sangat hebat ketika itu. Ini terlihat dari Kiai Ahmad Rifa'i (Kalisalak), Kiai Saleh Darat (Semarang), dan lainnya.
sya/dari berbagai sumber
Dalam lakon Dewaruci, tokoh utamanya adalah Bima, putra kedua dari Pandawa Lima. Dikisahkan, dalam lakon tersebut, Bima mencari hakikat hidup yang disebut dengan Tirtasari. Ketika berada di sebuah gunung (Reksomuka), Bima harus berhadapan dengan dua raksasa penunggu gunung, yaitu Rukmaka dan Rekmukala.
Dinamakan gunung Reksomuka, karena orang akan terhalang untuk mendapatkan hakikat dalam kehidupan apabila tergoda akan kehidupan lahir. Muko berarti penampilan lahir, sedangkan ngrekso berarti memelihara. Orang yang hanya memelihara tampilan lahiriahnya kemudian tergoda untuk nyeleweng, disebut dengan ngreksomuka.
Namun, kedua raksasa ini dapat dikalahkan oleh Bima, dengan kesaktian yang dimilikinya melalui kuku Pancanaka. Setelah berhasil dikalahkan, Bima kemudian melanjutkan perjalanan. Dan, ia bertemu lagi dengan lima raksasa. Namun, kelimanya berhasil dikalahkan berkat kuku Pancanaka.
Setelah itu, Bima menyeberangi lautan dan ia berjumpa dengan seekor ular naga yang bernama Werkudara. Dalam pertarungan melawan ular naga ini, Bima berhasil mengalahkannya, lagi-lagi dengan kuku pancanaka. Setelah itu, Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Namun ia kaget, karena Dewa Ruci adalah gambaran bima sendiri yang sangat kecil.
Kisah ini menggambarkan cara orang Jawa dahulu untuk mengajak umat agar mau melaksanakan shalat. Karena dengan shalat (rukun Islam kedua), akan mampu mengalahkan segalanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Menurut Bambang Pranowo, kisah Dewa Ruci itu menunjukkan perjalanan seorang hamba dalam mencari hakikat jati diri. Bima berusaha menundukkan hawa nafsunya dengan cara melawan segala godaan dunia, termasuk perhiasan dunia agar tidak terjerumus dan menyeng sarakannya. Dan, ketika ketemu jati dirinya, sesungguhnya dirinya sangat kecil di mata Allah. Allah-lah yang Maha Besar.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletehanks atas infonya bleh ngopi bwat acara temen2 kumpul di kadjen dan sowan ke kyai kita dulu he3x
ReplyDeleteijin kopas lagi
ReplyDeletematurnuwun...