Peringatan Haul KH. MA. Sahal Mahfudl

Haul kedua ulama asal Pati, KH. Sahal Mahfudz (Mantan Rais Aam NU) berlangsung di komplek pesantren Maslakhul Huda Kajen. Acara yang diselenggarakan di awal tahun 2016 ini berlangsung dengan khidmat..

Pasar Takjil Ramadhan kajen

Menjelang waku berbuka puasa, Jl. Kh. A. Mutamakkin mulai ramai dipadati pedaganng kaki lima yang menjual makanan dan minuman untuk berbuka puasa. pada umumnya dipadati oleh para santri putra dan putri yang mondok didesa kajen tak ketinggalan pula warga desa sekitar yang sengaja untuk membeli makanan untuk berbuka puasa. .

Pelatkan Batu Oleh KH. Nafi' Abdillah

Lapangan Yasin Desa Kajen yang semula menjadi tempat bermain dan tumbuhnya rumput hijau kini akan tergantikan dengan bangunan gedung sekolah / madrasah dengan bangunan lima lantai, yakni Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) atau sering dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “matholek”..

Haul KH Abdullah Salam

Haul KH. KH. Abdullah Zen Salam Kajen yang ke 14, bertempat dikediaman beliau di Komplek Pondok Pesantren Matholiul Huda, dihadiri ratusan warga dalam maupun luar daerah. Acara yang diisi dengan pengajian dan tahlil bersama ini dipimpin Habib Muhammad Al Aidit dari Tayu.

Biografi KH Abdullah Salam

KH Abdullah Zen Salam adalah keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin. Silsilahnya adalah KH.Abdullah Zen Salam bin KH Abdussalam bin KH Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH.Muhammad Hendro bin kH Ahmad Mutammakin. Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, Syaikh Abdullah Zen Salam masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya ketururan ke 35.4.

Labels

Followers

Translate

Thursday, June 25, 2015

Pasar Ramadhan Kajen




Menjelang waku berbuka puasa, Jl. Kh. A. Mutamakkin mulai ramai dipadati pedaganng kaki lima yang menjual makanan dan minuman untuk berbuka puasa. 
pada umumnya dipadati oleh para santri putra dan putri yang mondok didesa kajen tak ketinggalan pula warga desa sekitar yang sengaja untuk membeli makanan untuk berbuka puasa. 

kegiatan seperti ini hanya bisa dijumpai dibulan ramadhan yang berlokasi dijalan Kh. A. Mutamakkin Kajen tepatnya di perempatan Balai desakan Kajen yang lama, pasar ramadhan ini mulai nampak keramaiannya sekitar pukul 16.30 wib. dan sampai berbuka puasa tiba, banyak pedangan kaki lima yang menjajakan lauk untuk berbuka dan dan makanan atau minuman ringan.





beberapa  pedagang diantaranya penjual es tebu yang berada dekat dengan kantor balai desa kajen lama ini, mampu meraup keuntungan lebih dibulan ramdhan ini, mayoritas pemebelinya adalah anak santri yang mana menyediakan makanan dan minumnya untuk berbuka nanti.

Wednesday, June 17, 2015

Ciri Khas Sholat Tarawih Dimasjid Jami' Kajen

Ciri Khas Sholat Tarawih Dimasjid Jam' Kajen
Tak seperti sholat tarawih dimasjid-masjid pada umumnya, dimasjid Jami' Kajen, mempunyai ciri khas tersendiri dalam melakukan kegiatan sholat tarawih,

Pelaksanaan Sholat tarawih di dalama (kelompok pembacaan satu juz)

Aktivitas keagamaan di Mas­jid Jami' Kajen cukup berbeda dengan masjid lainnya yang berada disekitardiantaranya dalam  pelaksanaan shalat tarawih yang dibagi menjadi dua kelompok.Kelompok pertama men­ja­lankan shalat tarawih dengan ba­caan Al-Quran sebanyak satu juz yang dilaksankan di dhlaem  masjid jami' kajen,Sedangkan kelompok ke­dua menjalankan salat tarawih di serambi masjid bagian timur de­ngan membaca surat-surat pendek

Sumber : KH. Muadz Thohir (Pengasuh PP. Al Mardliyah Kajen)

Monday, June 15, 2015

Tradisi Megengan Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan di Kajen

Kajen, 13 Juni 2015
Acara tahunan dalam meneruskan tradisi budaya jawa menyambaut datanggnya bulan suci ramadhan, masyarakat jawa pada umumnya telah mengadakan tradisi "megengan"


begitu pula dengan masyarkat desa kajen, bertepatan dengan malam ke 27 sya'ban, menyambut kedatangan bulan suci ramadhan ini dengan acara megengan, bertempat di Mushola Baitul Muti' sekaligus






peresmian mushola baru bagi masyakat kajen di RT 05 RW 02, dalam acra megengan ini salin dihadiri oleh masyarakat kajen kususnya panitia juga mengundang beberap tamu dari luar desa, diantara desa Waturoyo dan beberapa perwakilan dari santri yang ada dilingkup desa kajen, tak ketinggalan pula Kepala Desa kajen Bp. Zubaedi

Friday, June 12, 2015

TRADISI MEGENGAN MENYAMBUT RAMADHAN

Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, kurang lebih satu minggu sebelum memasuki Bulan ramadhan, masyarakat Kajen dan sekitarnya mengadakan tradisi turun temurun "Megengan" sama hanlnya dengan desa-desa lain, baik di Jawa Tengah maupun Jawa timur.

Tanpa terasa bulan Ramadhan akan tiba. Bagi umat Muslim saatnya kini bersuka cita. Menyambut datangnya bulan penuh rahmat, ampunan dan berkah dari Allah SWT. Sebulan penuh kita mensucikan diri dengan menahan segala nafsu, dendam hingga amarah hingga hari kemenangan itu pun tiba. Berbicara tentang bulan Ramadhan atau bulan puasa, ada suatu tradisi di masyarakat Jawa yang dilakukan menjelang bulan suci itu akan tiba, yakni megengan. Tradisi megengan ini identik dengan satu jajanan khas, yakni kue apem. Megengan berasal dari kata megeng (menahan), yang berarti (sebenarnya) mengingatkan kita bahwa sebentar lagi mau memasuki bulan suci Ramadhan karena di bulan tersebut ada kewajiban untuk umat Muslim untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh lamanya. Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu terakhir di bulan Sya’ban, dan memang dalam syariat Islam sendiri tidak ada syariat atau hukumnya atau bahkan tradisi untuk megengan ini. Megengan sepenuhnya adalah tradisi baru yang ada di Jawa.

Dalam acara megengan biasanya ada acara mendoakan para sesepuh ahli kubur yang telah wafat mendahului diri kita. Megengan juga diwarnai dengan acara syukuran (ungkapan rasa syukur) dengan membagi-bagi makanan (terutama kue apem). Kue apem sebenarnya adalah ungkapan dari rasa permintaan maaf secara tidak langsung kepada para tetangga kita, apem asal katanya adalah afwum yang artinya meminta maaf. Dalam budaya Jawa, meminta maaf secara langsung atas kesalahan yang dahulu mungkin pernah kita lakukan adalah suatu hal yang berat (gengsi), karena itu bagaimana agar dapat menerapkan ajaran Islam namun tidak membuat masyarakat Jawa (dahulu) shock (sehingga alergi terhadap Islam) adalah dengan membaur melalui budaya.

Tradisi ini dipekenalkan pada saat penyebaran agama Islam di Jawa (terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan) oleh Sunan Kalijaga. Seperti yang kita ketahui, beliau berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan metode alkuturasi budaya. Kanjeng Sunan menggunakan metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat Jawa pedalaman sehingga menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat menganggu syiar Islam. Masyarakat Jawa pedalaman (bukan pesisir Utara) memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan unggah-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan pemuka masyarakat terutama agama, namun akan sangat sulit apabila mereka diharuskan meninggalkan budaya yang telah lama mengikat diri mereka dengan sebuah aturan-aturan baru (Islam) yang berbau budaya Arab.

Prinsip utama yang dianut Kanjeng Sunan dalam menginfiltrasi budaya Jawa dengan muatan nilai-nilai keislaman adalah sabda Rasulullah Muhammad SAW bahwa agama itu mudah maka mudahkanlah jangan dipersulit (dibikin sulit) dalam pelaksanaannya. Kanjeng Sunan ingin mengajarkan pada masyarakat tentang nilai-nilai islam termasuk melaksanakan sabda Rasulullah Muhammad SAW lewat budaya (adat) yang ada di tengah masyarakat. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW mengamini tiga doa yang diberikan oleh malaikat Jibril. 

Yang pertama: Ya Allah, janganlah Engkau terima puasanya seorang anak yang durhaka pada orang tuanya; Yang kedua: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seorang istri yang dholim kepada suaminya; Yang ketiga: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seseorang yang jahat kepada tetangganya.

Kanjeng Sunan tahu betul akan kandungan hadits ini, sehingga beliau ingin agar nanti masyarakat Jawa (yang baru memeluk dan mengenal Islam kala itu) yang akan melaksanakan ibadah puasa di bulan suci tidak sia-sia dalam pelaksanaannya karena masih memiliki kesalahan yang disengaja ataupun tidak sengaja kepada kedua orang tuanya, kepada suaminya (atau keluarganya) dan kepada tetangganya.

Karena itu Kanjeng Sunan ingin menganjurkan budaya meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin pernah terjadi kepada masyarakat Jawa, namun hal ini bukan sebuah perkara baru yang mudah karena adat/budaya Jawa untuk meminta maaf adalah sesuatu yang bernilai tinggi karena menyangkut harga diri, sehingga untuk mengajarkannya dan masyarakat mau menerimanya dengan suka hati dan tidak ada rasa tersinggung maka Kanjeng Sunan mengajarkannya dengan “action” langsung yaitu meminta kepada masyarakat untuk membuat sebuah kue yang bahan dasarnya dari beras ketan putih, dicampur dengan santan kelapa, gula dan garam. Setelah terkumpul bahan-bahan yang diperlukan semuanya, maka Kanjeng Sunan menunjukan cara untuk memasaknya dan setelah masakan itu matang maka Kanjeng Sunan mengajak masyarakat sekitar untuk duduk kumpul bersama dan mengajarkan kepada masyarakat arti akan makanan tersebut. 

Kue ini namanya afwum, artinya maaf maka dengan kue ini berilah maaf dan mintalah maaf kepada tetangga dan saudara-saudaramu yang ada disekitarmu, karena Allah suka akan hamba-Nya yang suka memberi maaf dan mau saling memaafkan. Tradisi tersebut akhirnya berjalan dengan setia hingga saat ini di masyarakat Jawa (khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah), di mana selain berbagi makanan maka di dalam tradisi megengan biasanya masyarakat Jawa sekalian mendoakan arwah para leluhurnya yang sudah wafat mendahuluinya.

Bagi masyarakat Kajen dan sekitarnya, selain kue apem yang dibagikan dalam megengan ini, diikutsertakan pula pisang raja. Ini tentu mengandung makna atau filosofi tersendiri dibalik penggunaan kue apem dan pisang raja dalam acara megengan. Konon katanya, jika kedua panganan (apem dan pisang raja) ini disatukan akan menjadi payung. Kue apem sebagai bagian atap payung dan pisang raja sebagai tangkainya atau gagang dari payung. Payung itu sendiri melambangkan perlindungan dari segala rintangan dan halangan selama menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Entah bagaimanakah pengejawantahan dari tradisi megengan itu, kita tak perlu merisaukannya. Yang terpenting adalah kesungguhan dan niat kita dalam mempersiapkan diri, mental dan iman untuk menyambut bulan suci Ramadhan, yang secara tulus dan ikhlas demi mengharapkan ridho dari Allah SWT. 

Akhir kata, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua untuk menghargai dan melestarikan tradisi tersebut selama tidak bertentangan dengan kaidah dan syariat agama. Semoga pula Ramadhan yang akan kita songsong ini dapat menjadikan kita sebagai insan yang semakin beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amin.

sumber : http://tabloidnusa-tuban.blogspot.com/2014/09/mengorek-akar-sejarah-tradisi-megengan.html

Thursday, June 11, 2015

Haul KH. KH. Abdullah Zen Salam Kajen yang ke 14





Kajen,10 Juni 2015. Haul KH. KH. Abdullah Zen Salam Kajen yang ke 14, bertempat dikediaman beliau di Komplek Pondok Pesantren Matholiul Huda, dihadiri ratusan warga dalam maupun luar daerah. Acara yang diisi dengan pengajian dan tahlil bersama ini dipimpin Habib Muhammad Al Aidit dari Tayu.

Acara ini berlangsung khidmad khusyuk dan khidmat. Turut hadir pula para kyai dari Jepara dan sekitarnya. Selain itu, terlihat juga Wakil Bupati Pati H. M. Budiyono dalam acara tersebut.
pekajenan.blog's

Wednesday, June 10, 2015

Biografi KH. Abdullah Zen bin Salam, Kajen

Foto KH. Abdullah Zen Salam, masih muda

Biografi KH. Abdullah Zen bin Salam, Kajen

Disusun Oleh : Intan
Kontributor : Gus U’uk (cucu KH.Abdullah Salam)


Desa Kajen Kecamatan Margoyoso, berjarak sekitar 18 kilo meter ke arah utara dari Kota Pati, Jawa tengah.

Desa yang biasa disebut “Desa Pesantren” Ini merupakan Desa yang telah banyak berjasa menyumbangkan putra-putri terbaiknya terhadap Bangsa, Negara dan Agama

Hal itu dirasa tidak berlebihan, dimana desa tersebut mengajarkan berbagai literatur Ilmu-Ilmu Agama Islam serta umum hasil karya ulama-ulama, lembaga Pendidikan formal (madrasah ) maupun lembaga pendidikan Non Formal (Pesantren) yang kelahirannya telah dibidani oleh ulama-ulama kharismatik yang berhaibah tinggi dihadapan para umatnya, telah mampu menjadikan tampilan wujud Desa ini menjadi sangat kontras bila dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Pati1. Bahkan tak ayal desa kajen praktis menjadi kiblat refrensi dan rujukan dari berbagai penyelesaian Keagamaan.2

Potret KH.Abdullah Zen Salam

Kebesaran kajen ini tak lepas dari sosok Waliyullah Syaikh Ahmad Mutamakkin, sosok ulama sufi yang hidup pada Abad 16-17 M (1695-1740).3 yang konon adalah salah satu penyebar pertama agama Islam di tanah Kajen dan sekitarnya

KH Abdullah Zen Salam adalah keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin. Silsilahnya adalah KH.Abdullah Zen Salam bin KH Abdussalam bin KH Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH.Muhammad Hendro bin kH Ahmad Mutammakin. Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, Syaikh Abdullah Zen Salam masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya ketururan ke 35.4

Perjalanan Pendidikan KH Abdullah Zen Salam.

Ada beberapa versi yang menjelaskan perjalanan pendidikan KH.Abdullah Zen Salam, salah satunya bahwa sejak kecil Mbah Dullah telah terbiasa hidup mandiri dan terpisah dari keluarganya, belum genap tujuh tahun beliau ikut pamannya dari pihak Ibu di Jepara yaitu kiyai Sholihin untuk belajar mengaji Al-qur’an Binnadhor.

Saat usianya mencapai tujuh tahun, beliau melanjutkan pendidikan di Kajen, tepatnya di Perguruan Islam mathali’ul falah dimana Abahnya sendiri KH.Abdussalam sebagai mudir (kepala sekolah) waktu itu.

Setelah lulus dari Mathole’ beliau diantar kakaknya KH.Mahfudz ke Madura untuk menghafal Al qur’an di bawah asuhan Kiyai Mohammad Sa’id dan kemudian melanjutkan ke pesantren Tebu Ireng – Jombang dibawah asuhan KH.Hasyim Asy’ari.

Versi lain mengatakan bahwa setelah beliau mengaji Al qur’an binnadhor di Jepara beliau melanjutkan ke Sampang Madura baru kemudian kembali ke Kajen untuk Tholabul Ilmi di Perguruan Islam Matholi’ul Falah,. Setelah itu baru diantar kakaknya ke Tebu_Ireng.

Di Tebu Ireng beliau seangkatan dengan teman-teman sesama dari Kajen antara lain KH.Duri Nawawi, KH.Ni’am Tamyis dan KH.Abdul Hadi. Diantara dua yang terakhir usia beliau termasuk yang paling muda, namun demikian justru beliaulah yang sering membantu mencarikan tambahan bekal bila kedua teman tersebut kehabisan bekal. Sebenarnya pendidikan beliau di Tebu ireng belum rampung, namun ditarik pulang oleh abahnya , KH Abdussalam yang kemudian dinikahkan dengan Nyai Aisyah. Awal pernikahan beliau bertempat tinggal di Bugel – Jepara, tepatnya di kediaman Mertua beliau KH.Ismail. Selang beberapa waktu beliau ditimbali pulang oleh KH.Abdussalam ke Kajen.

Meskipun secara Formal pendidikan beliau sudah berakhir, namun secara Informal beliau masih aktif belajar pada beberapa pihak, termasuk pada KH.Muhammadun Kajen pada tahun 1956/1957. Sepulang dari Kudus, yaitu setelah mengaji Qiro’ah Sab’ah dengan KH.Arwani Kudus. Beliau mengajar di Perguruan Islam Matholi’ul Falah dan sebagai Pengasuh di Pesantren Matholi’ul Huda (PUSAT) 5)

KH.Abdullah Zen Salam yang akrab disapa dengan Mbah Dullah ini dilahirkan di Kajen Margoyoso Pati dengan nama Abdullah. Namun ketika kanak-kanak nama beliau ditambahi Zen, menjadi Abdullah Zen, untuk membedakan beliau dengan beberapa anak sebaya yang kebetulan bernama sama, yaitu Abdullah dan salam diambil dari nama Romo beliau menjadi Abdullah Zain Salam.

Belum jelas tentang tahun, tanggal dan bulan lahir beliau. Menurut KH.Ma’mun Muzayyin, menantu Mbah Dullah istri dari nyai Hanifah, berdasarkan informasi dari ayahnya KH Muzayyin, Mbah Dullah lahir pada 1917. Sementara masih menurut KH Muzayyin, Mbah Dullah sendiri secara langsung pernah mengatakan, bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1920. Dipihak lain, ada sumber yang mengatakan, bahwa beliau dilahirkan berkisar antara tahun 1910-1915.1)

KH.Abdullah Zen Salam adalah salah satu putra KH.Abdussalam. KH.Abdussalam ini beristri empat orang. Dari istri pertama dikaruniai dua orang anak yakni:

1.Nyai Aisyah

2.KH Mahfudh (yang wafat dan dimakamkan di ambarawa).

Sementara KH.Abdullah Zain Salam sendiri adalah putra pertama dari istri ke dua KH. Abdussalam yaitu nyai Sumrah, yang jumlah seluruhnya empat bersaudara.

1.KH Abdullah Zen Salam Kajen

2.KH Ali Mukhtar Kajen

3.seorang putri yang meninggal pada usia empat tahun.

4.Nyai Saudah Jepara. 6)

Manajemen Pendidikan Ala KH Abdullah Zen Salam

KH Abdullah Zen Salam dikenal dengan prinsipnya yang tegas, baik posisinya sebagai Imam dikeluarganya maupun sebagai Sosok Figur di sekolah dan masyarakat. Ada sebuah kisah, konon pernah terjadi ketika tahun 1945 ibu Hj.Sholihah Mukhtar, salah satu lulusan pertama Banat PIM di panggil KH.Abdullah Zen Salam untuk mengajar di Mathole’, saat itu pemerintah menganjurkan untuk para pengajar agama formal di Indonesia melakukan ujian guru agama di Kabupaten lain. Mendengar hal itu ibu Hj. Sholichah Mukhtar dan para guru-guru Mathole’berinisiatif untuk mengikuti ujian guru tersebut, saat ibu Sholichah dan beberapa teman guru meminta izin kepada Mbah Dullah, dengan tegas beliau melarang, dan ngendikan bahwa “kalau mengajar harus dengan ikhlas, jangan mencari untung keduniaan dengan ilmu”. Akhirnya ibu Hj.Sholihah dan beberapa teman yang ikut sowan pun menanggalkan niatan mereka untuk mengikuti ujian guru Agama. Namun, ternyata ada beberapa dari para guru yang tetep mengikuti ujian agama tanpa seizin KH.Abdullah Zen Salam yang sa’at itu memiliki posisi sebagai pimpinan di sekolah Matholi’ul Falah. Sekembalinya mereka dari ujian, Mbah Dullah ( begitu beliau biasa di panggil ) marah dan mencabut hak para guru yang ikut ujian tersebut sebagai pengajar di mathole’ walaupun ada beberapa dari guru tersebut yang tergolong masih kerabatnya sendiri.

Ada juga kisah tentang beliau ini, Matholi’ul Falah adalah sebuah Perguruan Islam yang mengajarkan 75% Ilmu Agama dan selebihnya Ilmu Umum. Mempunyai motto I’dadu Al-Insan Al-Sholih Wa Al–Akrom, untuk menjadi kholifah di muka bumi. KH.Abdullah Zen Salam adalah figur muru’ah dan wira’i yang menjaga benar harga diri dan ngerekso dari perkara-perkara subhad. Konon cerita, suatu saat Mathole’ mendapat surat intruksi dari pemerintah agar para murid mengikuti ujian yang dikoordinir oleh negara, mendapati hal tersebut Mbah Dullah dengan tenang tidak memperdulikan intruksi tersebut dan berinisiatif lebih baik menutup sekolah dari pada Madrasah yang beliau pimpin di usik oleh pihak pemerintah. Hingga dulu, konon sempat Madrasah Mathole’ vakum beberapa sa’at karena mempertahankan perinsip. Namun, akhirnya Madrasah Mathali’ul Falah kembali bangkit dengan semangat baru yaitu Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM) yang Menggunakan basis pesantren. Beliau, KH.Abdullah Zen Salam sangat menjaga dan berhati-hati dalam membangun kurikulum yang beliau terapkan.

Suatu ketika KH Ahmad Nafi’ Abdillah, putra KH Abdullah Zen Salam pernah ngendikan di kelas 2 Aliyah PIM banat saat mengajar Ilmu Tasawwuf., Beliau berpesan bahwa, “berniatlah yang ikhlas dalam menuntut ilmu, jangan berharap pamrih atas jerih payah dalam mencari ilmu, jangan melakukan sesuatu karena ingin dipuji, untuk meraih kekuasaan atau kesenangan dunia semata. Hubbu Al dunya ro’su kulli khothiah, cinta dunia adalah kunci segala keburukan. Dan kelak ketika kamu sudah sukses lulus dari PIM jangan segan-segan mengamalkan ilmu yang telah di dapatkan di madrasah, jangan sampai apa yang kamu dapat berhenti di kamu. ”Al ‘ilmu bila ‘amalin kasyajari bila tsamarin”. Ingatlah ketika kamu sudah menjadi orang yang berilmu sesungguhnya ilmu yang kamu dapat adalah milik Allah dan ilmu yang kamu dapat adalah sedikit adanya”. 7) Ucapan Beliau ini seperti mengamini pesan Mbah Dullah. Dimana Man ‘Amila ‘Imuhu, Al‘ilmahullahu ma lam ya’lam.

Disebuah peribahasa disebutkan bahwa suatu qoum dapat dibilang sukses dilihat dari keilmuannya Juga pernah pada tahun 1978 Mbah Dullah berpesan di dalam pidatonya di hadapan para siswa Banin PIM yang dikhususkan teruntuk para siswa kelas tiga Aliyah (mustakhrijin) bahwa “niat sekolah dan mengamalkan ilmu untuk mengejar kebahagiaan akhiran semata, jika akhirat sudah di dapat insya Allah keperluan dunia akan mudah. Nawaitu tholabul’ilmi libtighoi mardhotillah, berniat mencari ilmu Allah demi menggapai ridho Allah. (man kaana yuriidu harfa al akhiroh fazidlahum biharfi, waman kaana yuridu harfa Al dunya nu’tihi minhaa wamaa lahu fii al akhiroh min al shidh)” barang siapa yang mencari keuntungan akhirot maka Allah akan menambah keuntungan tersebut, namun barang siapa yang mencari keuntungan dunia semata maka Allah tidak akan memberinya keuntungan di akhirat dan hanya sedikit keuntungannya di dunia. Ayat pendek tersebut dibaca berulang-ulang oleh beliau. Dan yang ayat tersebut dijabarkan dalam sebuah kalimat mantra yng menjadi landasan atau motto Perguruan Islam Matholi’ul Falah, I’daadu Al-Insan Al-sholih wa Al-akrom.8)

KH.Abdullah Zen Salam, Kiai Sufi

KH Abdullah Zen Salam adalah sosok seorang figur yang karakternya patut untuk diteladani, amalan ibadah beliau mencakup seluruh amaliyah keseharian yang selalu beliau jaga dan istiqomahkan, tidak ada kata “nganggur”. Dalam kamus hidup beliau. 9)

Konon semasa hidup KH Abdullah Zen Salam selalu disibukkan dengan jadwal ketat yang memang adalah amaliah keseharian beliau, mulai dari bangun tidur sampai dengan jadwal beliau hendak tidur lagi selalu beliau niatkan Lillahi Ta’ala dalam semua jenis kegiatan. Perilaku, akhlaq, tindakan sampai Dawuh beliau adalah hikmah yang menjadi uswah teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Beberapa bidang pengajaran yang beliau aktif terjun di dalamnya adalah sebagai Pengasuh di pesantren Tahafudz untuk para siswa PIM dan guru Thoriqoh, salah satu staf pengajar di PIM, koordinator Masjid Kajen, Pengampu pengajian kitab kuning mingguan pada hari Rabu dan Kamis di ndalem beliau dan lapangan Margoyoso juga banyak aktivitas lain yang beliau turut gawe di dalamnya.

Di samping karakter Mbah Dullah yang tak membiarkan amalannya mejadi kesia-siaan dalam ibadah, beliau adalah Sosok Fleksibel di mata masyarakat. Mbah Dullah yang dipandang sebagai sosok Sufi, ahli Fikih dan Tsawuf ini juga paham akan permasalahan selain keilmuan.

Di nilai seperti itu karena konon, dulu saat masyarakat yang datang dari berbagai kelas sosial dan mata pencaharian yang tidak sama datang pada beliau untuk sowan dan mengutarakan permasalahan, belaiu pasti paham dan memberikan solusi dengan tepat.

Ada cerita, tiga puluh tahun yang lalu sekitar tahun 1975 ada salah satu dari para hadirin yang ikut pengaosan malem sowan pada beliau dan meminta restu untuk nyalon sebagai Lurah di Blora, oleh Mbah Dullah dijawab dengan tenang “kowe nduwe duet seket juta? Umpomo nduwe yo monggo nyalonno”. Kata-kata Mbah Dullah yang sedikit ini bisa diambil hikmah, bahwa tiga puluh tahun yang lalu, sosok Mbah Dullah yang tidak pernah terjun langsung dalam dunia politik dan dilihat dari perekonomian masyarakat yang baru hidup beliau sudah paham akan Metode Money Politic (politik uang) yang pada zaman itu seorang ahli politik pun belum dirasa sampai pada pemikiran seperti itu namun Mbah Dullah sudah paham benar.

Dan dari cerita lain, ada seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai DPR yang sowan dan minta restu kepada Mbah Dullah, oleh Mbah Dullah dijawab dengan tegas bahwa jika seseorang menginginkan posisi sebagai Wakil Rakyat maka dia harus mampu berkepribadian seperti Dzul Yaddain dan jangan sampai mempunyai sifat Dzul Wajhain.

Dalam sebuah kisah di dalam kitab Al Hadits Bulughul Marom, Dzul Yaddain adalah seorang sahabat Nabi, suatu ketika Nabi tengah menjalankan ibadah sholat Dhuhur namun anehnya sholat yang beliau lakukan hanya dua rakaat, mendapati pemandangan tersebut para sahabatr yang lain hanya melihat dan berhusnudzon bahwa mungkin saja Nabi mendapat wahyu yang menjadikan sholatnya hanya dua rakaat atau mungkin Nabi sedang mengkosor sholatnya. Namun tidak dengan Dzul Yaddain, setelah Nabi salam dia menanyakan perihal apa Nabi melakukan sholat dhuhur dua rokaat, ternyata Nabi lupa bahwa sholatnya belum genap empat rakaat. Setelah sadar akan kesalahan itu beliau pun sholat kembali dua rakaat. (Pelajaran dari Dzul Yaddain adalah jangan segan menegur pemimpin yang salah atau mungkin lupa bahwa dia melakukan sesuatu yang keliru). Tegas akan sesuatu yang haq dan Batil meski seorang yang salah itu mempunya posisi yang lebih tinggi derajatnya di atas kita. Dan jangan sampai mempunyai sifat Dzul Wajhain, Dzul Wajhain di sini bermakna seorang yang mempunyai Dua Wajah, Paradoks, atau biasa disebut juga Munafik. Haram hukumnya menjadi orang yang bersifat seperti ini di mana pun posisi dia berada10).

KH.Abdullah Zen Salam, Organisator Sukses

Figur organisator sukses, beliau KH.Abdullah Zen Salam adalah seorang Manager yang hebat dari masanya hingga ketiadaannya. Sosok karismatik, berwawasan dan pendidik yang patut diteladani.

Dulu pada zamannya Mbah Dullah adalah orang yang tidak senang merepotkan orang lain, beliau lebih suka melakukan sendiri semuanya dan turun langsung dalam semua kegiatan. 11)

Contohnya organisasi sebagai staf pengajar di PIM, pondok pesantren dan Masjid Kajen, beliau mengkoordinir semuanya dengan rapi dan baik. Di Masjid Kajen beliau yang megatur, mulai Khotib sholat Jum’at, Badal Imam sholat, Bilal, hingga Mu’adzin. Menstruktur pengajar dan kegiatan murid di PIM mendidik dan memilih kader sebagai pengurus di pesantren. Di dalam keluarga pun Mbah Dullah adalah sosok kepala keluarga yang sukses mengantarkan putra putri beliau menjadi manusia yang sholih dan akrom,

Dengan gaya mengajar Tegas dan Disiplin, beliau mendidik mereka sesuai bidang pribadi masing-masing dengan catatan Al-Quran adalah fokus pertama yang harus diutamakan. Setelah dirasa mampu akhirnya Mbah Dullah mengatur manajemen pesantren ketangan para putra beliau dimana beliau masih mengomando dari belakang. 12)

KH Abdullah Zen Salam dikaruniai sembilan orang anak yang dua meninggal saat masih kecil yakni:

Ibu Nyai Hj.Munawwaroh , menikah dengan KH.M.Busro Abdul Latif menetap di Purwodadi. Pengasuh pondok Pesantren. Nurul Hidayah. Dikaruniai 4 orang anak.
Laki- laki, meninggal Saat Masih Kecil
Ahmad Nafi’ Abdillah, menikah dengan Nyai Hj.Mahmudah Nafi’. Menetap di Kajen. Pengasuh pondok PMH PUSAT dan sekarang menjadi Direktur Perguruan Islam Mathaliul Falah. Dikarunia 8 orang anak.
Ibu Nyai Hj.Hanifah Menikah Dengan KH.Ma’mun Muzayyin. Menetap di Kajen, Pengasuh PP.Al.Hikmah Dan Madrasah Perguruan Islam Al-Hikmah(PRIMA). Dikarunia 11 orang anak.
Ahmad Minan Abdullah menikah dengan Nyai Hj.Maftukhah Minan, menetap di Kajen, pengasuh PP.Nurul Quran. Dikaruniai 5 orang anak.
Nyai Hj.Ishmah menikah dengan KH.Ulin Nuha Arwani,menetap di Kudus, pengasuh yayasan Arwaniyah-Yanbu’a. Dikaruniai 2 orang anak namun meninggal semua saat masih kecil.
Zaki Fuad, menikah dengan Nyai Hj.Robiatul Adawiyah, menetap di Kajen, pegasuh PP.Al-Kautsar dan SMK Cordofa. Dikaruniai 9 orang anak.
Nyai Hj.Shofwatin Nikmah, menikah dengan KH.Abdullah Ubaid, menetap di Tegal, pengasuh PP.Darul Quran. Dikaruniai 7 orang anak, 1 meninggal.
Perempuan, meninggal Saat Masih Kecil 13)
Banyak pondok pesantren yang fakum sementara setelah Romo Kiyainya meninggal dunia karena Gusnya (putra Kiyai) belum mampu menggantikan posisi Abahnya sebagai Pengasuh Pondok, namun KH.Abdullah Zen Salam telah membuktikan bahwa metode pendidikan yang beliau terapkan telah berhasil, terbukti setelah ketiadaan beliau para putra beliau telah siap tampil menggantikan posisi beliau.

Metode pendidikan ini kiranya diajarkan secara turun temurun hingga sekarang.

Figur Yang Dihormati 

Terhormat, adalah kata yang lazim bila disandingkan dengan KH.Abdullah Zen Salam, berbagai sifat dan akhlaq mulia yang beliau contohkan telah membangun pribadi yang layak untuk menyebutnya sebagai seorang yang terhormat.

Konon pada tahun 1999 KH.Abdurrahmah Wachid yang biasa disapa Gus Dur saat itu baru resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, selang beberapa hari kurang lebih belum ada satu minggu beliau sudah menyempatkan diri untuk sowan kekediaman KH.Abdullah Zen salam untuk silaturrahmi dan meminta restu dari beliau.

Pernah ditulis dalam beberapa buah buku biografi KH.Abdurrahman Wachid bahwa beliau adalah salah seorang Waliyullah yang karismatik dan ma’rifat, tertulis juga dalam sebuah buku tentang beliau, bahwa ada tiga orang Kiyai di Indonesia yang sangat beliau hormati dan segani yang juga tergolong Waliyullah, nama–nama beliau sama, yaitu menggunakan nama panggilan Abdullah. Yaitu KH.Abdullah Abbas Cirebon, KH.Abdullah Fakih Jawa Timur Dan KH.Abdullah Zen Salam Jawa Tengah. 14)

Ada sebuah cerita dari ibu Hj.Sholichah Muchtar, bahwa pernah pada tahun 1970 beliau sowan kekediaman KH.Hamid di Pasuruan, oleh beliau Ibu Sholichah ditanya alamat, setelah Ibu Sholihah menjawab bahwa beliau berangkat dari Kajen, KH.Hamid bercerita, ditanah Jawa banyak terdapat kiyai karismatik namun hanya tinggal dua Waliyullah yang sekarang masih ada yaitu KH.Muhammadun dan KH.Abdullah zen Salam yang berada ditanah Kajen Pati. 15)

Wallahu a’lam lidzati wa dzati ghairihi.

Akhir hayat KH.Abdullah Zen salam 

Sejak seminggu sebelum wafatnya mbah Dullah tepatnya pada hari Ahad 4 November 2001 kesehatan KH.Abdullah Zen Salam mendapatkan masalah yang cukup serius, pada hari Senin tanggal 5 November dengan tertatih beliau memaksakan diri pagi-pagi sekali untuk berziarah ke sarean kakek buyutnya sekaligus guru rohaninya yaitu KH.Ahmad Mutamakkin.

Sepertinya beliau sudah sangat menyadari bahwa waktunya sudah akan tiba. Dokter Muhtadi yang sudah puluhan tahun menangani kesehatan beliau sebagai Dokter pribadi memaksa beliau untuk dirawat di RSI (Sunan Kudus) setelah melihat detak jantung beliau yang tampak cepat dan tidak setabil, meski awalnya beliau menolak saat yang meminta adalah putra dan kerabat beliau namun akhirnya beliau mau menuruti ketika yang menyarankn adalah seorang dokter. Saat hendak dibawa ke RS Kudus beliau sempat berpamitan dengan istrinya, Nyai Aisyah.16)

Pada 1 November 2001 beliau memaksa untuk pulang dari rumah sakit, waktu itu dokter menghendaki agar beliau mau dirawat sampai kondisi kesehatannya relatif membaik namun kepada cucunya Muhammah Ainun na’im beliau malah menegaskan “buat apa lama-lama disini, saya mau pulang sekarang, saya ini mau meninggal.” Memang, sudah lebih setahun terakhir beliau acap kali berkata bahwa beliau sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali ini, katanya sambil menunjuk jam tangan yang digunakan beliau. Waktu itu tidak ada yang berfikiran bahwa yang beliau maksud adalah yang beliau miliki tinggal waktu menunggu jemputan ajal.

Pagi itu keinginan beliau untuk pulang tidak bisa dicegah lagi dan beliau akhirnya memang benar-benar pulang kerumahnya di Kajen. Bahkan tampaknya bukan ingin pulang kerumah tapi sekaligus pulang ke kamarnya sendiri. Ini tampak ketika keluarganya menyiapkan kamar khusus di rumahnya yang dimaksud untuk mempermudah perawatan, beliau menolak dan terus memaksa untuk ditempatkan dikamarnya sendiri. Kehendak beliaupun dituruti, beliau ditempatkan dikamarnya sendiri yang sangat sederhana, tempat yang menjadi saksi pengabdian beliau dan juga sebagai saksi bisu kepergian beliau. 17)

Setelah semalaman kondisi kesehatannya tampak tidak stabil, sehabis subuh beliau tampak tertidur nyenyak. Kondisi ini berlangsung sampai ajal menjemputnya pada pukul 14.33 WIB. Terlihat kondisi beliau sedemikian tenang dan damai ketika berangkat menuju kekasih agungnya.

Hari itu Ahad 11 Nopember 2001 M yang bertepatan dengan 25 Sya’ban 1422 H. Semesta tertunduk menghormati keberangkatan sang permata

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roojiun.

                                                                                               

majalah Al Furqon PP Al-Husna edisi 2004 hlm 20
Zubaedi, penberdayaan masyarakat berhasil dipesantren hlm 95
Zainal Milal Bizawie, perlawanan kultural agama rakyat, pemikiran dan paham keagamaan syaikh Ahmad Mutamakkin dalam pengumulan Islam dan Tradisi (1045-1740), samha, 2002 hlm 101
majalah Al Furqon PP Al-Husna edisi 2004 hlm 20 (wawancara dengan habib luthfi pekalongan)
majalah Al Furqon PP Al-Husna edisi 2004 hlm 20
Mempersiapkan Insan Sholih Akrom Hlm 94
Muthalaah Pelajaran Tasawuf Kelas 2 Aliyah Oleh KH.Ahmad Nafi’ Abdillah Tahun 2013
Wawancara Bersama Ustadz Asnawi Rahmat
Wawancara dengan Ibu Sholichah Mukhtar
Wawancara dengan Bapak Asnawi Rahmat
Wawancara Dengan Ibu Hannah
Wawancara Dengan Bapak Asnawi Rahmat
Wawancara Dengan Nok Fatimah Firza Ilya. Cucu Nyai Hj.Munawwaroh. putri KH.Abdullah Zen Salam dan Neng Umniyatin Kamilah, putri Ibu Hj.Shofwatin Ni’mah, putri KH.Abdullah Zen Salam.
Wawancara Dengan Bapak Asnawi
Wawancara Dengan Ibu Hannah Dan Ibu Sholichah Mukhtar.    
Majalah Al Furqon PP Al-Husna edisi 2004 hlm 20 
Mempersiapkan Insan Sholih Akrom Hlm 94
Daftar Pustaka

Bulletin Al-Furqon Edisi Tahun 2006
Jamal Ma’mur Dkk,”Mempersiapkan Insan Sholih-Akrom”, Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah: Perguruan Islam Mathali’ul Falah, 2012
Zainal Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran Dan Paham Keagamaan Syaikh Ahmad Mutamakkin Dalam Pengumulan Islam Dan Tradisi (1045-1740), Samha, 2002
Wawancara Dengan Ibu Hj.Sholichah Mukhtar, Lulusan Pertama PIM Banat, pada tanggal 7 januari 2015
Wawancara Dengan Ibu Hj.Hannah, Lulusan Pertama PIM Banat, pada tanggal 7 Januari 2015
Wawancara Dengan Bapak Asnawi Rahmat, Salah Satu Staf Pengajar Di Perguruan Islam Mathaliul Falah , pada tanggal 8 Januari 2015
Wawancara Dengan Nok Fatimah Firza Ilya, Cucu Nyai Hj.Munawwaroh. putri KH.Abdullah Zen Salam. pada tanggal 8 Januari 2015
Neng Umniyatin Kamilah, putri Ibu Hj.Shofwatin Ni’mah, putri KH.Abdullah Zen Salam. pada tanggal 8 Januari 2015.