Labels

Followers

Translate

Friday, June 12, 2015

TRADISI MEGENGAN MENYAMBUT RAMADHAN

Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, kurang lebih satu minggu sebelum memasuki Bulan ramadhan, masyarakat Kajen dan sekitarnya mengadakan tradisi turun temurun "Megengan" sama hanlnya dengan desa-desa lain, baik di Jawa Tengah maupun Jawa timur.

Tanpa terasa bulan Ramadhan akan tiba. Bagi umat Muslim saatnya kini bersuka cita. Menyambut datangnya bulan penuh rahmat, ampunan dan berkah dari Allah SWT. Sebulan penuh kita mensucikan diri dengan menahan segala nafsu, dendam hingga amarah hingga hari kemenangan itu pun tiba. Berbicara tentang bulan Ramadhan atau bulan puasa, ada suatu tradisi di masyarakat Jawa yang dilakukan menjelang bulan suci itu akan tiba, yakni megengan. Tradisi megengan ini identik dengan satu jajanan khas, yakni kue apem. Megengan berasal dari kata megeng (menahan), yang berarti (sebenarnya) mengingatkan kita bahwa sebentar lagi mau memasuki bulan suci Ramadhan karena di bulan tersebut ada kewajiban untuk umat Muslim untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh lamanya. Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu terakhir di bulan Sya’ban, dan memang dalam syariat Islam sendiri tidak ada syariat atau hukumnya atau bahkan tradisi untuk megengan ini. Megengan sepenuhnya adalah tradisi baru yang ada di Jawa.

Dalam acara megengan biasanya ada acara mendoakan para sesepuh ahli kubur yang telah wafat mendahului diri kita. Megengan juga diwarnai dengan acara syukuran (ungkapan rasa syukur) dengan membagi-bagi makanan (terutama kue apem). Kue apem sebenarnya adalah ungkapan dari rasa permintaan maaf secara tidak langsung kepada para tetangga kita, apem asal katanya adalah afwum yang artinya meminta maaf. Dalam budaya Jawa, meminta maaf secara langsung atas kesalahan yang dahulu mungkin pernah kita lakukan adalah suatu hal yang berat (gengsi), karena itu bagaimana agar dapat menerapkan ajaran Islam namun tidak membuat masyarakat Jawa (dahulu) shock (sehingga alergi terhadap Islam) adalah dengan membaur melalui budaya.

Tradisi ini dipekenalkan pada saat penyebaran agama Islam di Jawa (terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan) oleh Sunan Kalijaga. Seperti yang kita ketahui, beliau berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan metode alkuturasi budaya. Kanjeng Sunan menggunakan metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat Jawa pedalaman sehingga menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat menganggu syiar Islam. Masyarakat Jawa pedalaman (bukan pesisir Utara) memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan unggah-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan pemuka masyarakat terutama agama, namun akan sangat sulit apabila mereka diharuskan meninggalkan budaya yang telah lama mengikat diri mereka dengan sebuah aturan-aturan baru (Islam) yang berbau budaya Arab.

Prinsip utama yang dianut Kanjeng Sunan dalam menginfiltrasi budaya Jawa dengan muatan nilai-nilai keislaman adalah sabda Rasulullah Muhammad SAW bahwa agama itu mudah maka mudahkanlah jangan dipersulit (dibikin sulit) dalam pelaksanaannya. Kanjeng Sunan ingin mengajarkan pada masyarakat tentang nilai-nilai islam termasuk melaksanakan sabda Rasulullah Muhammad SAW lewat budaya (adat) yang ada di tengah masyarakat. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW mengamini tiga doa yang diberikan oleh malaikat Jibril. 

Yang pertama: Ya Allah, janganlah Engkau terima puasanya seorang anak yang durhaka pada orang tuanya; Yang kedua: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seorang istri yang dholim kepada suaminya; Yang ketiga: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seseorang yang jahat kepada tetangganya.

Kanjeng Sunan tahu betul akan kandungan hadits ini, sehingga beliau ingin agar nanti masyarakat Jawa (yang baru memeluk dan mengenal Islam kala itu) yang akan melaksanakan ibadah puasa di bulan suci tidak sia-sia dalam pelaksanaannya karena masih memiliki kesalahan yang disengaja ataupun tidak sengaja kepada kedua orang tuanya, kepada suaminya (atau keluarganya) dan kepada tetangganya.

Karena itu Kanjeng Sunan ingin menganjurkan budaya meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin pernah terjadi kepada masyarakat Jawa, namun hal ini bukan sebuah perkara baru yang mudah karena adat/budaya Jawa untuk meminta maaf adalah sesuatu yang bernilai tinggi karena menyangkut harga diri, sehingga untuk mengajarkannya dan masyarakat mau menerimanya dengan suka hati dan tidak ada rasa tersinggung maka Kanjeng Sunan mengajarkannya dengan “action” langsung yaitu meminta kepada masyarakat untuk membuat sebuah kue yang bahan dasarnya dari beras ketan putih, dicampur dengan santan kelapa, gula dan garam. Setelah terkumpul bahan-bahan yang diperlukan semuanya, maka Kanjeng Sunan menunjukan cara untuk memasaknya dan setelah masakan itu matang maka Kanjeng Sunan mengajak masyarakat sekitar untuk duduk kumpul bersama dan mengajarkan kepada masyarakat arti akan makanan tersebut. 

Kue ini namanya afwum, artinya maaf maka dengan kue ini berilah maaf dan mintalah maaf kepada tetangga dan saudara-saudaramu yang ada disekitarmu, karena Allah suka akan hamba-Nya yang suka memberi maaf dan mau saling memaafkan. Tradisi tersebut akhirnya berjalan dengan setia hingga saat ini di masyarakat Jawa (khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah), di mana selain berbagi makanan maka di dalam tradisi megengan biasanya masyarakat Jawa sekalian mendoakan arwah para leluhurnya yang sudah wafat mendahuluinya.

Bagi masyarakat Kajen dan sekitarnya, selain kue apem yang dibagikan dalam megengan ini, diikutsertakan pula pisang raja. Ini tentu mengandung makna atau filosofi tersendiri dibalik penggunaan kue apem dan pisang raja dalam acara megengan. Konon katanya, jika kedua panganan (apem dan pisang raja) ini disatukan akan menjadi payung. Kue apem sebagai bagian atap payung dan pisang raja sebagai tangkainya atau gagang dari payung. Payung itu sendiri melambangkan perlindungan dari segala rintangan dan halangan selama menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Entah bagaimanakah pengejawantahan dari tradisi megengan itu, kita tak perlu merisaukannya. Yang terpenting adalah kesungguhan dan niat kita dalam mempersiapkan diri, mental dan iman untuk menyambut bulan suci Ramadhan, yang secara tulus dan ikhlas demi mengharapkan ridho dari Allah SWT. 

Akhir kata, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua untuk menghargai dan melestarikan tradisi tersebut selama tidak bertentangan dengan kaidah dan syariat agama. Semoga pula Ramadhan yang akan kita songsong ini dapat menjadikan kita sebagai insan yang semakin beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amin.

sumber : http://tabloidnusa-tuban.blogspot.com/2014/09/mengorek-akar-sejarah-tradisi-megengan.html

0 comments:

Post a Comment